PEMBAHASAN
A. Pengertian Maqasid Al-Tabi’ah
1.
Kaidah tentang al-maqāsidal-tābi‘ah
(6 kaidah)
a.
Kaidah pertama:
.
المقاصد التابعة خادمة للمقاصد الأصلية و مكملة لها.
Al-Maqāsidal-tābi‘ah merupakan pelayan bagi al-maqāsid al-asliyyah dan penyempurna baginya.
b.
Kaidah kedua:
.
أن ما كان من المقاصد التابعة مثبتا للمقصد الأصلي، و مقويا لحكمته، ومستدعيا
لطلبه وإدامته، فهو المقصود للشارع وإن لم ينص عليه.
Bahwa al-maqāsid al-tābi‘ah yang
menegakkan al-maqāsid al-asliyyah, menguatkan hikmahnya, dan mendorong perwujudan serta keberlakuan tetapnya, maka ia merupakan maksud al-Syāri‘ walau tidak dinaskan.
c.
Kaidah ketiga:
.
أن القصد
التابع إذا كان الباعث عليه القصد الأصلي كان فرعا من فروعه فله حكمه.
Al-Maqāsid al-tābi‘ah, apabila motivasi baginya adalah al-maqāsid al-asliyyah yang
berupa cabang darinya, maka hukumnya berlaku bagi cabang.
d.
Kaidah keempat:
.
ما كان من
التوابع مقويا و معينا على أصل العبادة و غير قادح في الإخلاص فهو المقصود التبعي
السائغ وما لا فلا.
Al-Maqāsid al-tābi‘ah yang
menguatkan, khusus di bidang ibadah, dan berpengaruh bagi keikhlasan,
maka ia berlaku, tapi tidak sebaliknya.
e.
Kaidah kelima:
.
التابع إذا كان خادما للقصد الأصلي فالقصد إليه ابتداء صحيح والا فلا.
Al-Maqāsid al-tābi‘ah, apabila menjadi pelayan bagi al-maqāsid al-asliyyah, maka sah dijadikan tujuan pertama.
f.
Kaidah keenam:
. لايعتبر التابع إذا كان اعتباره يعوج
على المتبوع بالإخلال.
Al-Maqāsid al-tābi‘ah tidak diiktibar jika ia merusak yang diikutinya.
2. Kaidah maqāsidal-mukallaf (5 kaidah)
Merupakan tujuan syariat bagi hamba (mukallaf)
dalam melakukan sesuatu perbuatan. Maqasid mukallaf berperanan menentukan sah
atau batal sesuatu amalan.
Maqashid mukallaf hendaklah
selaras dengan maqashid syariah itu sendiri. Sehingga bila ada yang ingin
mencapai sesuatu yang lain dari maksud awal pensyariatannya, sesuatu itu
dianggap telah menyalahi syariat
a.
Kaidah pertama:
.
قصد الشارع من المكلف أن يكون قصده في العمل موافقا لقصده في التكليف.
Maksud al-Syāri‘ pada mukallaf adalah agar tujuan mukallaf sesuai dengan tujuan al-Syāri‘ dalam taklīf-Nya.
taklīf, maknanya adalah kemauan seorang mukallaf dalam mengerjakan beban
yang telah ditentukan oleh Syāri‟. Selanjutnya as-Syatibi mengatakan bahwa
perkara yang maklum adalah yang sesuai dengan perbuatan mukallaf. Sedangkan
keterkaitan antara perbuatan dengan perkara tersebut, itulah
yang dimaksud oleh Syāri
b.
Kaidah kedua:
.
كل قصد
يخالف قصد الشارع فهو باطل.
Setiap tujuan yang menentang maksud al-Syāri‘ adalah batal.
Contohnya Shalat qashar sedangkan kita tidak sedang dalam perjalanan. Maka yang
demikian tidak dibenarkan.
c.
Kaidah ketiga:
.
كل أمر شاق جعل الشارع فيه للمكلف مخرجا، فقصد الشارع بذلك المخرج أن يتحراه إن
شاء، على الوجه الذي شرعه له.
Setiap kesulitan yang diberikan jalan keluar, maka tujuan al-Syāri‘ atas jalan keluar itu berlaku berdasarkan apa yang disyariatkan.
Rukhshah dalam bahasa adalah kemudahan, lunak, mudah serta meluas.
Sedangkan menurut istilah adalah Hukum Syar‟i yang ditetapkan untuk mempermudah
dengan adanya udzur walaupun ada dalil yang mengharamkan karena untuk
mempermudahkan dan memperluas. Hukum yang terjadi untuk menyesuaikan kemampuan
beban yang menimpanya bagi dirinya, hartanya, atau dhorurah yang lain,
disebabkan karena sakit, faqir, atau sebab-sebab yang muncul.
Oleh Karena itu syari’at sebagai rahmat dengan meringankan beban, hukum ini
sebagai pengganti bagi orang yang tidak mampu untuk melakukannya.
Yang menjadi pokok itu adalah bagi orang yang sakit, safar mendapatkan
rukhshoh dalam melaksanakan kewajiban agama, seperti sholat, puasa ada sebab
yang bisa merubah kewajiban dengan adanya keringanan, Gugurnya kewajiban
sholat jum’at bagi orang yang sakit, musafir, dan disyari‟atkan mengqoshor
shalat
bagi musafir, dan diperbolehkan sholat dengan duduk, atau meluruskan
kakinya bagi siapa yang tidak mampu sholat dengan berdiri atau duduk, dan
diperbolehkan berbuka puasa bagi musafir dan orang yang sakit dan
mengganti puasa setelah sudah mampu melaksanakannya dan sembuh.
Contoh Bai‟u salam (ada rukun yang hilang dadalamnya), Jualbeli yang
salah satu rukunnya hilang maka jual beli tersebut adalah bathil, akan
tetapi jika untuk kebutuhan manusia maka deperbolehkan untuk mempermudahkan.
d.
Kaidah keempat:
.
إن الأمور
العادية إنما يعتبر في صحتها ألا تكون مناقضة لقصد الشرع ولا يشترط ظهور الموافقة.
Adat hanya sah jika tidak berlawanan dengan tujuan syarak, dan tidak disyaratkan tampaknya kesesuaian.
Allah SWT menciptakan manusia dalam
kemajemukan yang terdiri atas suku, bangsa dan tersebar di berbagai tempat.
Kemajemukan tersebut melahirkan adat dan tradisi yang sangat beragam. Namun
demikian manusia dibekali kemampuan yang tidak diberikan kepada makhluk lain, yaitu akal. Dengan akal
inilah manusia menjadi makhluk yang sangat terhormat dan diharapkan bisa
menjadi khalifah dimuka
bumi serta mampu menciptakan kreasi-kreasi baru yang membawa kemaslahatan bagi
sesama. Dengan kesempurnaan yang dimilikinya, Allah SWT
„menaruh harapan‟ bahwa mereka mampu melakukan yang
terbaik di muka bumi.
Semua itu sebagai amanah Allah SWT yang harus kita
manifestasikan untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah Yang Maha Esa.
Sebagai contoh kebiasaan umat islam memperingati
Maulid Nabi Muhammad saw, peringatan tersebut merupakan suatu kebudayaan yang
sering dilakukan umat islam setiap tahunnya.
e.
Kaidah kelima:
.
القصد غير الشرعي هادم للقصد الشرعي.
Tujuan yang bukan syarak, meruntuhkan tujuan syarak.
Seorang yang telah menghalalkan yang haram dan
menggugurkan fardlu dengan hilah berarti dia berusaha merusak agama dari
beberapa sisi. Syariat Islam
tidak akan dapat di sampaikan dan ditegakkan dalam kehidupan manusia melainkan harus
sesuai dengan maksud dan tujuan syariat
itu sendiri.
Sebagaimana firman Allah:
“Mereka yang kami berikan kekuasaan di muka bumi, mendirikan
solat, mengeluarkan zakat, menyuruh kepada makruf dan mencegah daripada
munkar dan kepada Allah kembali segala urusan.” (Al -Haj: 41)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar