Jumat, 25 Desember 2015

makalah filsafat hukum islam kaidah wasa'i


Makalah Filsafat Hukum Islam

KAIDAH WASA’IL




Description: D:\BAHAN KULIAH\IMG_20150517_183944.jpg




Disusun Oleh:

Kelompok 4

Cut Riska Gustiyani Aja
Nila Vonna Rahmi
Rina destiana
Motif Atika
Rini Safitri
Nur Asma




JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARI’AH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
BANDA ACEH - 2015 M/1436 H




BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Orang yang meneliti hukum, perintah, dan larangan syari’at, akan melihat bahwa di antara hal-hal tersebut ada yang menentukan prinsipil dan itulah “maksud syari’at”.  Prinsip tersebut tidak menentukan sebuah wasilah. Karena wasilah bisa berubah dan berbeda seiring perbedaan waktu, tempat, tradisi, kondisi sosial, ekonomi, dan politik.
   Untuk itu, kita bisa melihat bahwa dalam hal ini syari’at membebaskan manusia untuk memilih wasilah yang sesuai bagi diri mereka. Ia tidak mengikat manusia dengan wasilah tertentu di zaman Nabi hingga membuat mereka bergantung pada jumud kepadanya. Sehingga, mereka menyangka bahwa hal tersebut  adalah urusan ibadah yang dilaksanakan dan tidak boleh dipikirkan. Dengan demikian, yang lebih utama adalah memberikan penentuan wasilah kepada akal seorang muslim, sehingga dia bisa memilih sesuai dengan situasi dan kondisinya.







BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Wasa’il
Wasa'il adalah suatu jalan atau sarana untuk menuju kepada maqasid, sedangkan pengertian maqasid adalah sesuatu yang mengandung mashlahah dan mafsadah karena dirinya sendiri.

B.  Adapun Kaidah (Wasā’il) ada 13 kaidah yaitu:
1.    Kaidah pertama
الوسائل لها أحكام المقاصد.
Hukum tujuan juga berlaku untuk sarananya.
a.         Jika sarana itu diperintahkan oleh syari’at dan sesuai dengan tujuan    maqasid syar’iah:
Maka tidak diragukan lagi bahwa sarana itu dapat dipergunakan, misalnya: berjalan untuk shalat berjamaah di masjid, atau bekerja untuk mendapatkan rizki, atau mengunjungi kerabat dan sanak saudara, atau berdakwah dan semacamnya.
b.    Jika sarana itu dilarang oleh syari’at;
1). Jika larangan itu berkonotasi pengharaman, maka penggunaan sarana ini untuk mencapai tujuannya, hukumnya adalah haram, meskipun yang dituju itu sendiri merupakan sesuatu yang dituntut dan diminta oleh syari’at, misalnya: mencuri untuk bersedekah, atau menabung dengan sistem riba dengan niat mendermakan uang riba itu di berbagai proyek kebajikan, atau untuk membangun proyek plesiran di negeri-negeri muslim, di mana dalam kawasan plesiran itu dipraktekkan berbagai aktifitas amoral, atau disitu dijual minuman keras, terdapat pekerjaan para perempuan Asusilamaksudnya adalah bisnis atau investasi dan semacamnya. Semua ini, tidak usah dilihat dan diperhatikan tujuannya, sebab cara untuk mencapainya itu sendiri telah dilarang oleh syari’at.
2). Jika larangan itu berkonotasi pemakruhan, maka penggunaan sarana itu hukumnya makruh pula.
3). Jika sarana itu hukumnya mubah (diperbolehkan oleh syari’at, tidak diperintahkan dan tidak dilarang), dalam hal ini, pandangan para ahli ilmu ushul fiqh berbeda pendapat, ada yang memperbolehkan dan ada yang melarang.
Pernyataan di atas adalah berdasarkan Firman Allah; 
ö@è% $yJ¯RÎ) tP§ym }În/u |·Ïmºuqxÿø9$# $tB tygsß $pk÷]ÏB $tBur z`sÜt/ zNøOM}$#ur zÓøöt7ø9$#ur ÎŽötóÎ/ Èd,yÛø9$# br&ur (#qä.ÎŽô³è@ «!$$Î/ $tB óOs9 öAÍit\ム¾ÏmÎ/ $YZ»sÜù=ß br&ur (#qä9qà)s? n?tã «!$# $tB Ÿw tbqçHs>÷ès? ÇÌÌÈ 

Artinya:“Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui." (Q.S Al-‘Araf: 33)

Dalam  contoh lain misalnya Agama Islam mewajibkan kepada umatnya untuk memelihara kesehatan, maka mempelajari ilmu tentang kesehatan maka hukumnya wajib pula. Konsekuensi selanjutnya adalah wajib pula menyiapkan prasarana dalam menuntut ilmu kesehatan, termasuk sarana praktikum seperti mempelajari anatomi tubuh manusia.

2.  Kaidah kedua:
قد تكون وسيلة المحرم غير محرمة إذا أفضت إلى مصلحة راجحة.
 Ada kalanya sarana yang diharamkan menjadi tidak haram jika mengantar pada maslahat yang jelas.

Contohnya: Memakan daging babi dan anjing dalam keadaan terpaksa dan untuk memelihara jiwa yang merupakan dari tujuan pokok hukum Islam yang masuk ke dalam pembagian Al-Kuliyat Al-Khams di perbolehkan. Hal ini berdasarkan firman Allah:
$yJ¯RÎ) tP§ym ãNà6øn=tæ sptGøŠyJø9$# tP¤$!$#ur zNóss9ur ͍ƒÌYÏø9$# !$tBur ¨@Ïdé& ¾ÏmÎ/ ÎŽötóÏ9 «!$# ( Ç`yJsù §äÜôÊ$# uŽöxî 8ø$t/ Ÿwur 7Š$tã Ixsù zNøOÎ) Ïmøn=tã 4 ¨bÎ) ©!$# Öqàÿxî íOŠÏm§ ÇÊÐÌÈ  

Artinya: Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. Al-Baqarah:173)
3.  Kaidah ketiga:
كلما سقط اعتبار المقصد سقط اعتبار الوسيلة.
 Jika gugur iktibar maqāsid, maka gugur pula iktibar wasīlah.
Seperti yang telah dijelaskan di atas  bahwa sesuatu yang dikerjakan oleh mukallaf dengan menggunakan sarana akan tetapi ia tidak sesuai dengan tujuan maqashid maka wasail ini tidak di ‘itibarkan.

4.  Kaidah Keempat:
كل تصرف جر فسادا أو دفع صلاحا فهو منهي عنه.
Setiap tindakan yang berakibat buruk atau menghilangkan maslahat, maka tindakan itu terlarang”  
Contoh: Demonstrasi Anarkisme yang merusak jalan atau menutup jalan, yang dijadikan tempat lalu lalang masyarakat sehingga menimbulkan mudharat kepada masyarakat yang melintasi jalan tersebut maka demonstrasi semacam ini hukumnya terlarang.

5.  Kaidah Kelima:
أن أجور الوسائل وآثامها تختلف باختلاف مقاصدها.
Ganjaran untuk sarana berbeda-beda sesuai menurut perbedaan pada maqāsid itu sendiri.
Hal ini sesuai dengan firman Allah:
`yJsù ö@yJ÷ètƒ tA$s)÷WÏB >o§sŒ #\øyz ¼çnttƒ ÇÐÈ   `tBur ö@yJ÷ètƒ tA$s)÷WÏB ;o§sŒ #vx© ¼çnttƒ ÇÑÈ 
Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya        Dia akan melihat (balasan)nya. dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula” (Q.S Al-Zalzalah: 7-8)

6.  Kaidah keenam:
كلما قويت الوسيلة إلى الأداء كان أثمها أعظم.
Manakala sarana diduga kuat menyampaikan pada tujuan, maka pengaruhnya besar.” .
            Contoh dari hal tersebut bisa kita lihat ketika Al-Qur’an dan As-Sunnah menentukan prinsip syura dalam kehidupan Islam terutama politik. Dalam surat yang diturunkan di Makkah Allah berfirman:
tûïÏ%©!$#ur (#qç/$yftGó$# öNÍkÍh5tÏ9 (#qãB$s%r&ur no4qn=¢Á9$# öNèdãøBr&ur 3uqä© öNæhuZ÷t/ $£JÏBur öNßg»uZø%yu tbqà)ÏÿZムÇÌÑÈ  
Artinya: “Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka”(Asy-Syura:38)

Syari’at tidak menentukan wasilah hal di atas, tetapi membebankannya kepada umat Islam. Kita dapat ber ijtihad untuk memilih, membatasi, memperindah, dan mengembangkannya sesuai dengan kemashlahatan pada waktu dan tempat tertentu. Untuk itu, cara pemilihan keempat Khulafaur-Rasyidin pun berbeda. Ia disesuaikan dengan kondisi. Jika sarana yang dipilih  di duga kuat menyampaikan pada tujuan syara’ di atas maka pengaruhnya besar untuk kemashlahatan umat Islam itu sendiri.
Di zaman sekarang kita bisa memilih dengan jalan pencalonan atau pemilihan umum (pemilu) dengan suara mayoritas, seperti yang ada dalam sistem demokrasi kita. Maka kita pun bisa membuat dan menentukan syarat-syarat dan sifat-sifat ke ilmuan serta moral bagi orang yang kita calonkan itu. Sebagaimana kita pun bisa membatasi orang yang dipilih dan cara pemilihan untuk kemashlahatan negara kita.

7.  Kaidah Ketujuh:
أن عدم الإقضاء الوسيلة إلى المقصد يبطل اعتبارها.
Sarana yang tidak menyampaikan pada tujuan tidak diiktibar.
            Penentuan Wasilah (sarana) adalah salah satu sebab yang dapat menimbulkan kekeliruan dalam memahami syari’at. Sebagian orang ada yang mencampur adukkan antara maksud dan tujuan mapan yang ingin direalisasikan oleh teks dengan wasilah-wasilah temporal yang terkadang ditentukan oleh syari’at. Padahal, jika memperdalam pemahaman dan rahasia teks, mereka akan melihat bahwa yang paling penting adalah maksud. Maksud tersebut adalah tujuan mapan dan abadi. Adapun wasilah bisa berubah seiring perubahan kondisi, waktu, tradisi, dan faktor-faktor lain.
Wasilah dapat berubah dari waktu kewaktu lain dan dari tempat ketempat lain. Bahkan, ia memang harus berubah. Jika ada teks terutama hadits Nabi yang menjelaskan tentang hal tersebut, ini tiada lain untuk menjelaskan kondisi, bukan untuk mengikat dan menjadikan kita jumud sepanjang masa.  Jika teks Al-Qur’an  menjelaskan tentang wasilah yang sesuai untuk tempat dan waktu tertentu, ini tidak berarti bahwa kita harus berdiri terpaku di depannya dan tidak berpikir tentang wasilah-wasilah lain yang sesuai dengan perkembangan waktu dan tempat. Misalnya wasilah tambatan kuda berikut ini. Al-Qur’an menjelaskan;
(#rÏãr&ur Nßgs9 $¨B OçF÷èsÜtGó$# `ÏiB ;o§qè% ÆÏBur ÅÞ$t/Íh È@øyÜø9$# šcqç7Ïdöè? ¾ÏmÎ/ ¨rßtã «!$# öNà2¨rßtãur tûï̍yz#uäur `ÏB óOÎgÏRrߊ Ÿw ãNßgtRqßJn=÷ès? ª!$# öNßgßJn=÷ètƒ 4 $tBur (#qà)ÏÿZè? `ÏB &äóÓx« Îû È@Î6y «!$# ¤$uqムöNä3ös9Î) óOçFRr&ur Ÿw šcqßJn=ôàè? ÇÏÉÈ  

Artinya: “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)”.(Q.S Al-Anfal:60)

Namun, meskipun begitu, tidak seorang pun yang memahami bahwa musuh hanya dapat dihadapi dengan kekuatan kuda, sebagaimana yang dinyatakan oleh Al-Qur’an di atas. Setiap orang yang mempunyai akal dan memahami bahasa serta syari’at akan memahami bahwa kuda pada zaman sekarang dapat berupa tank, kapal, pesawat dan senjata-senjata lainnya. Adapun teks yang menjelaskan tentang keutamaan dan besarnya ganjaraan memelihara kuda, itu menunjukkan adanya balasan atas perbuatan baik yang dilakukan untuk kemashlahatan umat pada zamannya. Seperti Hadits: “Barang siapa yang memelihara kuda dijalan Allah, beriman kepada Allah, dan memenuhi janji-Nya, maka kekenyangan, perairan, tai, dan kencing kuda akan ditimbang (sebagai kebaikan) di Hari Kiamat. (HR. Bukhari). Juga seperti Hadits, “Kuda diikat dengan ubun-ubunnya menjadi kebaikan pada hari kiamat, ganjaran dan harta rampasan.” (HR. Muttafaq ‘alaih).
Serta, hadits-hadits lainnya yang harus diterapkan ke dalam wasilah modern yang sama dengan kuda atau lebih canggih berkali-kali lipat dari kuda.

8.  Kaidah kedelapan:
الوسائل أخفض رتبة من المقاصد.
Artinya:
“Wasā’il lebih rendah tingkatannya dari maqāsid”.
Sebahagian orang keliru dalam memahami tingkatan antara wasail dari maqasid dan terkadang mengubah maksud ( tujuan) menjadi wasilah (sarana). Hal  ini berarti bahwa maksud atau tujuan bisa berubah, bahkan di hilangkan dan diganti dengan yang lain.
Hal  tersebut tampak pada syi’ar-syi’ar ibadah besar  seperti shalat, puasa, zakat, dan haji. Ibadah-ibadah tersebut adalah rukun-rukun amal tempat Islam di bangun. Diantara orang-orang tersebut menyatakan “bahwa hati yang suci dan peka serta ikhlas beramal untuk Allah” sedangkan masalah ruku’, sujud, lapar, haus, pergi ke mekkah dan tawaf ka’bah tidaklah penting. Mereka beralasan, bahwa di antara manusia ada yang rajin melaksanakan shalat  atau ibadah tersebut, tetapi tidak meninggalkan bekas kebaikan dalam diri mereka. Hal ini dimaksudkan adalah ibadah shalat, zakat, puasa dan haji tidaklah penting  yang penting adalah hati yang bersih dan jiwa yang terdidik.  Sehingga sebahagian nya juga berpendapat  bahwa orang-orang yang pintar/ ilmuan/ ulama itu tidak membutuhkan ibadah, karena mereka telah terdidik. Dan  pemikiran semacam itu adalah keliru.

9.  Kaidah Kesembilan:
إذا تعددت الوسائل الى المقصد الواحد فتعتبر الشريعة في التكليف بتحصيلها أقوى تلك الوسائل تحصيلا للمقاصد المتوسل إليه بحيث يحصل كاملا، راسخا، عاجلا، ميسورا.
 Apabila ada beberapa wasā’il yang mengantar pada maqāsid yang satu, maka syariat mengiktibar yang terkuat, di mana maqāsid terwujudkan secara sempurna, langsung, dan mudah.”

Dalam sebuah hadits rasulullah saw bersabda:
“janganlah kalian puasa hingga melihat hilal dan janganlah kalian berbuka hingga kalian melihatnya juga” Dalam lafazh yang lain, “Jika mendung maka sempurnakanlah bulan sya’ban hingga tiga puluh” (HR. Muttafaq’alaih)
Dalam  hal ini, para fuqaha berbeda pendapat ada yang menyatakan bahwa hadits tersebut mengisyaratkan kepada maksud dan menentukan sebuah wasilah. Adapun maksud dari hadits tersebut sangat jelas, yaitu: agar berpuasa (shaum) di seluruh bulan ramadhan, tidak menyia-nyiakannya walaupun sehari. Atau puasa di bulan lainnya  seperti sya’ban dan syawal. Hal tersebut dilakukan dengan cara menetapkan masuk atau keluar dari bulan dengan wasilah yang bisa dilakukan oleh banyak orang (melihat), bukan dengan hal yang bisa menyebabkan susah dalam beragama. 
Dizaman dahulu (pada masa nabi) melihat hilal dengan mata kepala adalah wasilah yang bisa dilakukan oleh banyak orang. Untuk itulah hadits menentukan wasilah tersebut. Karena, jika mewajibkan dengan wasilah lain, seperti hisab falak misalnya, di zaman tersebut umat tidak bisa menulis dan menghitung. Pasti akan menyulitkan mereka. Padahal Allah ingin memudahkan mereka, bukan menyusahkan. Rasulullah saw bersabda tentang dirinya: “Allah tidak mengutusku sebagai orang yang membuat susah dan binggung, tetapi mengutusku sebagai orang yang memberi ilmu dan kemudahan” .
Mengambil hisab falak sebagai wasilah untuk menentukan bulan harus di terima sebagai “qiyas lebih utama”. Dengan arti, ketika sunnah mesyari’atkan wasilah yang lebih rendah karena diliputi  keraguan dan berbagai kemungkinan bagi kita, yaitu melihat, ia tidak menolak wasilah yang lebih tinggi, lebih sempurna, lebih merealisasikan maksud, memberikan solusi dari perbedaan tajam dalam menentukan waktu shaum, buka,  hari ID,  menyatukan syi’ar agama dan ibadah yang ada kaitannya dengan urusan agama, hidup, dan ruhani yaitu berupa hisab (dengan cara melakukan penghitungan secara akurat). Jika keadaan umat telah berubah seperti sekarang ini (mampu membaca dan menghitung) maka hukum pun haru berubah artinya, kita tidak mesti berpatokan dengan cara melihat hilal secara tradisionalis.
Jika wasilah ini lebih mampu dan mudah dalam merealisasikan maqsud syara’ maka Islam sangat menganjurkan kepada umat nya untuk mengambil wasilah ini.

10.  Kaidah Kesepuluh:
إذا تساوت الوسائل في الإفضاء إلى المقاصد باعتبار أحواله كلها سوّت الشريعة في اعتبارها، و تخير المكلف في تحصيل بعضها دون الآخر، إذ الوسائل ليست مقصودة لذاتها.
“Apabila beberapa wasā’il setara dalam menghasilkan maqāsid, maka iktibar syariat sama atasnya, dan mukallaf boleh memilih sebagiannya, karena wasā’il tidak dimaksudkan pada dirinya sendiri”.

Kaidah ini bisa kita berikan contoh pada jilbab wanita muslimah. Al-qur’an memberikan perintah tentang jilbab muslimah. Jilbab tersebut adalah wasilah menutup aurat dan kesopanan bagi muslimah. Sebagaimana Firman Allah:
$pkšr'¯»tƒ ÓÉ<¨Z9$# @è% y7Å_ºurøX{ y7Ï?$uZt/ur Ïä!$|¡ÎSur tûüÏZÏB÷sßJø9$# šúüÏRôム£`ÍköŽn=tã `ÏB £`ÎgÎ6Î6»n=y_ 4 y7Ï9ºsŒ #oT÷Šr& br& z`øùt÷èムŸxsù tûøïsŒ÷sム3 šc%x.ur ª!$# #Yqàÿxî $VJŠÏm§ ÇÎÒÈ  

Artinya: “Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. Al-Ahzab: 59)
Perintah al-qur’an di atas tidak berarti baha jilbab yang terulur adalah satutaunya pakaian yang di syari’atkan bagi muslimah sebagaimana bisa kita lihat pada sebahagian muslimah yang taat beragama. Hal  ini karena bentuk pakaian termasuk sesuatu yang berkaitan dengan tradisi sebah negara dan lingkungan penghuninya. Ia berubah seiring perubahan waktu, tempat, kebutuhan manusia, dan perkembangan. Syari’at tidak melarang hal itu selama sesuai dengan maksud-maksud asasi dalam berpakaian yang diinginkan olehnya, yaitu menutup dan tidak membuka aurat yang wajib ditutup, tidak transparan, dan kehilangan identitas sebagai muslimah.

11.  Kaidah Kesebelas:
إن الشئ إذا كان واجبا وله وسائل متعددة لا يجب أحدها عينا.
 Apabila sesuatu hukumnya wajib, dan baginya ada beberapa wasā’il, maka tidak wajib salah satunya secara sendirinya.

12.  Kaidah Keduabelas:
قد تكون الوسيلة متضمنة مفسدة تكره أو تحرم لأج لها، وما جعلت وسيلة إليه ليس بحرام ولا مكروه.
 Kadang wasā’il mengandung mafsadat sehingga dimakruhkan atau diharamkan, tetapi wasā’il baginya tidak dimakruhkan atau diharamkan”.
Pembahasan kaidah ini bisa kita lihat pada praktek penggunaan alat untuk siwak sebagai salah satu wasail dalam membersihkan gigi dan mulut. Yusuf qardhawi berpendapat bahwa maksud dari kata “siwak” yang ada pada nash adalah untuk membersihkan mulut hingga diridhai tuhan. Sebagaimana  ada dalam sebuah hadits:
السِّوَاكُ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ
 Siwak membersihkan mulut dan meridhai tuhan
Sebahagian ahli fikih, seperti fikih hanbali  menyebutkan “menggunakan kayu gaharu dari arak, zaitun dan lainnya, tidak akan menyebabkan kesusahan dan kemudharatan”.
Rasullah menyifati siwak dengan sesuatu yang bisa mencapai maksud dan mudah bagi bangsa Arab seperti menggunakan kayu Arak. Di negeri lain wasilah tersebut bisa berubah, misalnya di Indonesia menggunakan jenis sikat gigi dan lainnya karena hal tersebut mudah bagi bangsa Indonesia dan tidak menyebabkan kemudharatan bagi pemakainya. Dalam hal ini maka di makruhkan pula menggunakan wasail untuk bersiwak yang dapat menyebabkan kesusahan dan kemudharatan dengan menggunakan benda-benda yang keras seperti: kayu delima, kemangi, tamarsik dll.

13.  Kaidah Ketigabelas:
يغتفر في الوسائل ما لا يغتفر في المقاصد.
Pada wasā’il dimaafkan sesuatu yang tidak dimaafkan pada maqāsid.



BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan

1.    Wasa'il adalah suatu jalan atau sarana untuk menuju kepada maqasid, sedangkan pengertian maqasid adalah sesuatu yang mengandung mashlahah dan mafsadah karena dirinya sendiri.
2.    Syari’at membebaskan manusia untuk memilih wasilah yang sesuai bagi diri mereka sendiri, Karena wasilah bisa berubah dan berbeda seiring perbedaan waktu, tempat, tradisi, kondisi sosial, ekonomi, dan politik.


















DAFTAR PUSTAKA

Jabbarsabil.blogspot.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar