Makalah Filsafat Hukum Islam
KAIDAH
WASA’IL

Disusun Oleh:
Kelompok 4
Cut Riska
Gustiyani Aja
Nila Vonna Rahmi
Rina destiana
Motif Atika
Rini Safitri
Nur Asma
JURUSAN
HUKUM EKONOMI SYARI’AH
FAKULTAS
SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI AR-RANIRY
BANDA
ACEH - 2015 M/1436 H
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Orang yang meneliti hukum, perintah, dan larangan syari’at, akan melihat
bahwa di antara hal-hal tersebut ada yang menentukan prinsipil dan itulah
“maksud syari’at”. Prinsip tersebut tidak menentukan sebuah wasilah.
Karena wasilah bisa berubah dan berbeda seiring perbedaan waktu, tempat,
tradisi, kondisi sosial, ekonomi, dan politik.
Untuk itu, kita bisa melihat bahwa dalam hal ini syari’at
membebaskan manusia untuk memilih wasilah yang sesuai bagi diri mereka. Ia tidak
mengikat manusia dengan wasilah tertentu di zaman Nabi hingga membuat mereka
bergantung pada jumud kepadanya. Sehingga, mereka menyangka bahwa hal
tersebut adalah urusan ibadah yang dilaksanakan dan tidak boleh
dipikirkan. Dengan demikian, yang lebih utama adalah memberikan penentuan
wasilah kepada akal seorang muslim, sehingga dia bisa memilih sesuai dengan
situasi dan kondisinya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Wasa’il
Wasa'il adalah suatu jalan atau sarana untuk
menuju kepada maqasid, sedangkan pengertian maqasid adalah sesuatu yang
mengandung mashlahah dan mafsadah karena dirinya sendiri.
B. Adapun Kaidah (Wasā’il)
ada 13 kaidah yaitu:
1.
Kaidah pertama
الوسائل لها أحكام المقاصد.
“Hukum
tujuan juga berlaku untuk sarananya”.
a.
Jika sarana itu diperintahkan oleh syari’at dan sesuai dengan tujuan maqasid syar’iah:
Maka tidak diragukan lagi
bahwa sarana itu dapat dipergunakan, misalnya: berjalan untuk shalat berjamaah
di masjid, atau bekerja untuk mendapatkan rizki, atau mengunjungi kerabat dan
sanak saudara, atau berdakwah dan semacamnya.
b. Jika sarana itu dilarang oleh syari’at;
1). Jika larangan itu berkonotasi pengharaman, maka penggunaan sarana ini
untuk mencapai tujuannya, hukumnya adalah haram, meskipun yang dituju itu
sendiri merupakan sesuatu yang dituntut dan diminta oleh syari’at, misalnya:
mencuri untuk bersedekah, atau menabung dengan sistem riba dengan niat
mendermakan uang riba itu di berbagai proyek kebajikan, atau untuk membangun
proyek plesiran di negeri-negeri muslim, di mana dalam kawasan plesiran itu
dipraktekkan berbagai aktifitas amoral, atau disitu dijual minuman keras,
terdapat pekerjaan para perempuan Asusilamaksudnya adalah bisnis
atau investasi dan semacamnya. Semua ini, tidak usah dilihat dan diperhatikan
tujuannya, sebab cara untuk mencapainya itu sendiri telah dilarang oleh
syari’at.
2). Jika larangan itu
berkonotasi pemakruhan, maka penggunaan sarana itu hukumnya makruh pula.
3). Jika sarana itu
hukumnya mubah (diperbolehkan oleh syari’at, tidak diperintahkan dan tidak
dilarang), dalam hal ini, pandangan para ahli ilmu ushul fiqh berbeda
pendapat, ada yang memperbolehkan dan ada yang melarang.
Pernyataan di atas adalah berdasarkan Firman Allah;
ö@è% $yJ¯RÎ) tP§ym }În/u |·Ïmºuqxÿø9$# $tB tygsß $pk÷]ÏB $tBur z`sÜt/ zNøOM}$#ur zÓøöt7ø9$#ur ÎötóÎ/ Èd,yÛø9$# br&ur (#qä.Îô³è@ «!$$Î/ $tB óOs9 öAÍit\ã ¾ÏmÎ/ $YZ»sÜù=ß br&ur (#qä9qà)s? n?tã «!$# $tB w tbqçHs>÷ès? ÇÌÌÈ
Artinya:“Katakanlah:
"Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun
yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang
benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak
menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah
apa yang tidak kamu ketahui." (Q.S Al-‘Araf: 33)
Dalam contoh lain misalnya Agama Islam mewajibkan kepada umatnya
untuk memelihara kesehatan, maka mempelajari ilmu tentang kesehatan maka
hukumnya wajib pula. Konsekuensi selanjutnya adalah wajib pula menyiapkan
prasarana dalam menuntut ilmu kesehatan, termasuk sarana praktikum seperti
mempelajari anatomi tubuh manusia.
2. Kaidah
kedua:
قد تكون وسيلة المحرم غير محرمة إذا أفضت إلى
مصلحة راجحة.
“Ada kalanya sarana yang diharamkan menjadi
tidak haram jika mengantar pada maslahat yang jelas”.
Contohnya: Memakan daging babi dan anjing dalam keadaan terpaksa dan untuk
memelihara jiwa yang merupakan dari tujuan pokok hukum Islam yang masuk ke
dalam pembagian Al-Kuliyat Al-Khams di perbolehkan. Hal
ini berdasarkan firman Allah:
$yJ¯RÎ) tP§ym ãNà6øn=tæ sptGøyJø9$# tP¤$!$#ur zNóss9ur ÍÌYÏø9$# !$tBur ¨@Ïdé& ¾ÏmÎ/ ÎötóÏ9 «!$# (
Ç`yJsù §äÜôÊ$# uöxî 8ø$t/ wur 7$tã Ixsù zNøOÎ) Ïmøn=tã 4
¨bÎ) ©!$# Öqàÿxî íOÏm§ ÇÊÐÌÈ
Artinya: Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi,
dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. tetapi
Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa
baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. (Q.S. Al-Baqarah:173)
3. Kaidah
ketiga:
كلما سقط اعتبار
المقصد سقط اعتبار الوسيلة.
“Jika gugur
iktibar maqāsid, maka gugur pula iktibar wasīlah.”
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa sesuatu yang
dikerjakan oleh mukallaf dengan menggunakan sarana akan tetapi ia tidak sesuai
dengan tujuan maqashid maka wasail ini tidak di ‘itibarkan.
4. Kaidah
Keempat:
كل تصرف جر
فسادا أو دفع صلاحا فهو منهي عنه.
“Setiap tindakan
yang berakibat buruk atau menghilangkan maslahat, maka tindakan itu terlarang”
Contoh: Demonstrasi Anarkisme yang merusak jalan atau menutup jalan, yang
dijadikan tempat lalu lalang masyarakat sehingga menimbulkan mudharat kepada
masyarakat yang melintasi jalan tersebut maka demonstrasi semacam ini hukumnya
terlarang.
5. Kaidah Kelima:
أن أجور الوسائل
وآثامها تختلف باختلاف مقاصدها.
“Ganjaran
untuk sarana berbeda-beda sesuai menurut perbedaan pada maqāsid itu sendiri”.
Hal ini sesuai dengan firman Allah:
`yJsù ö@yJ÷èt tA$s)÷WÏB >o§s #\øyz ¼çntt ÇÐÈ `tBur ö@yJ÷èt tA$s)÷WÏB ;o§s #vx© ¼çntt ÇÑÈ
Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya. dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan
sebesar dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula” (Q.S Al-Zalzalah: 7-8)
6. Kaidah keenam:
كلما قويت
الوسيلة إلى الأداء كان أثمها أعظم.
“Manakala
sarana diduga kuat menyampaikan pada tujuan, maka pengaruhnya besar.” .
Contoh
dari hal tersebut bisa kita lihat ketika Al-Qur’an dan As-Sunnah menentukan
prinsip syura dalam kehidupan Islam terutama politik. Dalam surat yang
diturunkan di Makkah Allah berfirman:
tûïÏ%©!$#ur (#qç/$yftGó$# öNÍkÍh5tÏ9 (#qãB$s%r&ur no4qn=¢Á9$# öNèdãøBr&ur 3uqä© öNæhuZ÷t/ $£JÏBur öNßg»uZø%yu tbqà)ÏÿZã ÇÌÑÈ
Artinya: “Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka”(Asy-Syura:38)
Syari’at tidak menentukan wasilah hal di atas, tetapi membebankannya kepada
umat Islam. Kita dapat ber ijtihad untuk memilih, membatasi, memperindah, dan
mengembangkannya sesuai dengan kemashlahatan pada waktu dan tempat tertentu.
Untuk itu, cara pemilihan keempat Khulafaur-Rasyidin pun berbeda. Ia
disesuaikan dengan kondisi. Jika sarana yang dipilih di duga kuat
menyampaikan pada tujuan syara’ di atas maka pengaruhnya besar untuk kemashlahatan
umat Islam itu sendiri.
Di zaman sekarang kita bisa memilih dengan jalan pencalonan atau pemilihan
umum (pemilu) dengan suara mayoritas, seperti yang ada dalam sistem demokrasi
kita. Maka kita pun bisa membuat dan menentukan syarat-syarat dan sifat-sifat
ke ilmuan serta moral bagi orang yang kita calonkan itu. Sebagaimana kita pun
bisa membatasi orang yang dipilih dan cara pemilihan untuk kemashlahatan negara
kita.
7. Kaidah
Ketujuh:
أن عدم الإقضاء
الوسيلة إلى المقصد يبطل اعتبارها.
Sarana yang
tidak menyampaikan pada tujuan tidak diiktibar.
Penentuan
Wasilah (sarana) adalah salah satu sebab yang dapat menimbulkan kekeliruan
dalam memahami syari’at. Sebagian orang ada yang mencampur adukkan antara
maksud dan tujuan mapan yang ingin direalisasikan oleh teks dengan
wasilah-wasilah temporal yang terkadang ditentukan oleh syari’at. Padahal,
jika memperdalam pemahaman dan rahasia teks, mereka akan melihat bahwa yang
paling penting adalah maksud. Maksud tersebut adalah tujuan mapan dan abadi.
Adapun wasilah bisa berubah seiring perubahan kondisi, waktu, tradisi, dan
faktor-faktor lain.
Wasilah dapat berubah dari waktu kewaktu lain dan dari tempat ketempat
lain. Bahkan, ia memang harus berubah. Jika ada teks terutama hadits Nabi yang
menjelaskan tentang hal tersebut, ini tiada lain untuk menjelaskan kondisi,
bukan untuk mengikat dan menjadikan kita jumud sepanjang masa. Jika
teks Al-Qur’an menjelaskan tentang wasilah yang sesuai untuk tempat
dan waktu tertentu, ini tidak berarti bahwa kita harus berdiri terpaku di
depannya dan tidak berpikir tentang wasilah-wasilah lain yang sesuai dengan
perkembangan waktu dan tempat. Misalnya wasilah tambatan kuda berikut ini.
Al-Qur’an menjelaskan;
(#rÏãr&ur Nßgs9 $¨B OçF÷èsÜtGó$# `ÏiB ;o§qè% ÆÏBur ÅÞ$t/Íh È@øyÜø9$# cqç7Ïdöè? ¾ÏmÎ/ ¨rßtã «!$# öNà2¨rßtãur tûïÌyz#uäur `ÏB óOÎgÏRrß w ãNßgtRqßJn=÷ès? ª!$# öNßgßJn=÷èt 4
$tBur (#qà)ÏÿZè? `ÏB &äóÓx« Îû È@Î6y «!$# ¤$uqã öNä3ös9Î) óOçFRr&ur w cqßJn=ôàè? ÇÏÉÈ
Artinya: “Dan
siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan
dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu
menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu
tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan
pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak
akan dianiaya (dirugikan)”.(Q.S Al-Anfal:60)
Namun, meskipun begitu, tidak seorang pun yang memahami bahwa musuh hanya
dapat dihadapi dengan kekuatan kuda, sebagaimana yang dinyatakan oleh Al-Qur’an
di atas. Setiap orang yang mempunyai akal dan memahami bahasa serta syari’at
akan memahami bahwa kuda pada zaman sekarang dapat berupa tank, kapal, pesawat
dan senjata-senjata lainnya. Adapun teks yang menjelaskan tentang keutamaan dan
besarnya ganjaraan memelihara kuda, itu menunjukkan adanya balasan atas
perbuatan baik yang dilakukan untuk kemashlahatan umat pada zamannya. Seperti
Hadits: “Barang siapa yang memelihara kuda dijalan Allah, beriman kepada
Allah, dan memenuhi janji-Nya, maka kekenyangan, perairan, tai, dan kencing
kuda akan ditimbang (sebagai kebaikan) di Hari Kiamat. (HR. Bukhari). Juga
seperti Hadits, “Kuda diikat dengan ubun-ubunnya menjadi kebaikan pada hari
kiamat, ganjaran dan harta rampasan.” (HR. Muttafaq ‘alaih).
Serta, hadits-hadits lainnya yang harus diterapkan ke dalam wasilah modern
yang sama dengan kuda atau lebih canggih berkali-kali lipat dari kuda.
8. Kaidah kedelapan:
الوسائل أخفض رتبة من المقاصد.
Artinya:
“Wasā’il lebih rendah tingkatannya dari maqāsid”.
Sebahagian orang keliru dalam memahami tingkatan antara wasail dari maqasid
dan terkadang mengubah maksud ( tujuan) menjadi wasilah (sarana). Hal ini
berarti bahwa maksud atau tujuan bisa berubah, bahkan di hilangkan dan diganti
dengan yang lain.
Hal tersebut tampak pada syi’ar-syi’ar ibadah
besar seperti shalat, puasa, zakat, dan haji. Ibadah-ibadah tersebut
adalah rukun-rukun amal tempat Islam di bangun. Diantara orang-orang tersebut
menyatakan “bahwa hati yang suci dan peka serta ikhlas beramal untuk Allah”
sedangkan masalah ruku’, sujud, lapar, haus, pergi ke mekkah dan tawaf ka’bah
tidaklah penting. Mereka beralasan, bahwa di antara manusia ada yang rajin
melaksanakan shalat atau ibadah tersebut, tetapi tidak meninggalkan
bekas kebaikan dalam diri mereka. Hal ini dimaksudkan adalah ibadah shalat,
zakat, puasa dan haji tidaklah penting yang penting adalah hati yang
bersih dan jiwa yang terdidik. Sehingga sebahagian nya juga
berpendapat bahwa orang-orang yang pintar/ ilmuan/ ulama itu tidak
membutuhkan ibadah, karena mereka telah terdidik. Dan pemikiran
semacam itu adalah keliru.
9. Kaidah
Kesembilan:
إذا تعددت
الوسائل الى المقصد الواحد فتعتبر الشريعة في التكليف بتحصيلها أقوى تلك الوسائل
تحصيلا للمقاصد المتوسل إليه بحيث يحصل كاملا، راسخا، عاجلا، ميسورا.
“Apabila ada
beberapa wasā’il yang mengantar pada maqāsid yang satu, maka syariat
mengiktibar yang terkuat, di mana maqāsid terwujudkan secara sempurna,
langsung, dan mudah.”
Dalam sebuah hadits rasulullah saw bersabda:
“janganlah kalian puasa hingga melihat hilal dan janganlah kalian berbuka
hingga kalian melihatnya juga” Dalam lafazh yang lain, “Jika
mendung maka sempurnakanlah bulan sya’ban hingga tiga puluh” (HR.
Muttafaq’alaih)
Dalam hal ini, para fuqaha berbeda pendapat ada yang menyatakan
bahwa hadits tersebut mengisyaratkan kepada maksud dan menentukan sebuah
wasilah. Adapun maksud dari hadits tersebut sangat jelas, yaitu: agar berpuasa
(shaum) di seluruh bulan ramadhan, tidak menyia-nyiakannya walaupun sehari.
Atau puasa di bulan lainnya seperti sya’ban dan syawal. Hal tersebut
dilakukan dengan cara menetapkan masuk atau keluar dari bulan dengan wasilah
yang bisa dilakukan oleh banyak orang (melihat), bukan dengan hal yang bisa
menyebabkan susah dalam beragama.
Dizaman dahulu (pada masa nabi) melihat hilal dengan mata kepala adalah
wasilah yang bisa dilakukan oleh banyak orang. Untuk itulah hadits menentukan
wasilah tersebut. Karena, jika mewajibkan dengan wasilah lain, seperti hisab falak
misalnya, di zaman tersebut umat tidak bisa menulis dan menghitung. Pasti akan
menyulitkan mereka. Padahal Allah ingin memudahkan mereka, bukan menyusahkan.
Rasulullah saw bersabda tentang dirinya: “Allah tidak mengutusku sebagai
orang yang membuat susah dan binggung, tetapi mengutusku sebagai orang yang
memberi ilmu dan kemudahan” .
Mengambil hisab falak sebagai wasilah untuk menentukan bulan harus di
terima sebagai “qiyas lebih utama”. Dengan arti, ketika sunnah mesyari’atkan
wasilah yang lebih rendah karena diliputi keraguan dan berbagai
kemungkinan bagi kita, yaitu melihat, ia tidak menolak wasilah yang lebih
tinggi, lebih sempurna, lebih merealisasikan maksud, memberikan solusi dari
perbedaan tajam dalam menentukan waktu shaum, buka, hari
ID, menyatukan syi’ar agama dan ibadah yang ada kaitannya dengan
urusan agama, hidup, dan ruhani yaitu berupa hisab (dengan cara melakukan
penghitungan secara akurat). Jika keadaan umat telah berubah seperti sekarang
ini (mampu membaca dan menghitung) maka hukum pun haru berubah artinya, kita
tidak mesti berpatokan dengan cara melihat hilal secara tradisionalis.
Jika wasilah ini lebih mampu dan mudah dalam merealisasikan maqsud syara’
maka Islam sangat menganjurkan kepada umat nya untuk mengambil wasilah ini.
10. Kaidah
Kesepuluh:
إذا تساوت
الوسائل في الإفضاء إلى المقاصد باعتبار أحواله كلها سوّت الشريعة في اعتبارها، و
تخير المكلف في تحصيل بعضها دون الآخر، إذ الوسائل ليست مقصودة لذاتها.
“Apabila beberapa wasā’il setara dalam menghasilkan maqāsid,
maka iktibar syariat sama atasnya, dan mukallaf boleh memilih sebagiannya,
karena wasā’il tidak dimaksudkan pada dirinya sendiri”.
Kaidah ini bisa kita berikan contoh pada jilbab wanita muslimah. Al-qur’an
memberikan perintah tentang jilbab muslimah. Jilbab tersebut adalah wasilah
menutup aurat dan kesopanan bagi muslimah. Sebagaimana Firman Allah:
$pkr'¯»t ÓÉ<¨Z9$# @è% y7Å_ºurøX{ y7Ï?$uZt/ur Ïä!$|¡ÎSur tûüÏZÏB÷sßJø9$# úüÏRôã £`Íkön=tã `ÏB £`ÎgÎ6Î6»n=y_ 4
y7Ï9ºs #oT÷r& br& z`øùt÷èã xsù tûøïs÷sã 3
c%x.ur ª!$# #Yqàÿxî $VJÏm§ ÇÎÒÈ
Artinya: “Hai Nabi,
Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri
orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh
tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal,
karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. (Q.S. Al-Ahzab: 59)
Perintah al-qur’an di atas tidak berarti baha jilbab yang terulur adalah
satutaunya pakaian yang di syari’atkan bagi muslimah sebagaimana bisa kita
lihat pada sebahagian muslimah yang taat beragama. Hal ini karena
bentuk pakaian termasuk sesuatu yang berkaitan dengan tradisi sebah negara dan
lingkungan penghuninya. Ia berubah seiring perubahan waktu, tempat, kebutuhan
manusia, dan perkembangan. Syari’at tidak melarang hal itu selama sesuai dengan
maksud-maksud asasi dalam berpakaian yang diinginkan olehnya, yaitu menutup dan
tidak membuka aurat yang wajib ditutup, tidak transparan, dan kehilangan
identitas sebagai muslimah.
11. Kaidah
Kesebelas:
إن الشئ إذا كان
واجبا وله وسائل متعددة لا يجب أحدها عينا.
“Apabila sesuatu
hukumnya wajib, dan baginya ada beberapa wasā’il, maka tidak wajib salah
satunya secara sendirinya”.
12. Kaidah
Keduabelas:
قد تكون الوسيلة
متضمنة مفسدة تكره أو تحرم لأج لها، وما جعلت وسيلة إليه ليس بحرام ولا مكروه.
“Kadang wasā’il
mengandung mafsadat sehingga dimakruhkan atau diharamkan, tetapi wasā’il
baginya tidak dimakruhkan atau diharamkan”.
Pembahasan kaidah ini bisa kita lihat pada praktek penggunaan alat untuk
siwak sebagai salah satu wasail dalam membersihkan gigi dan mulut. Yusuf
qardhawi berpendapat bahwa maksud dari kata “siwak” yang ada pada nash adalah
untuk membersihkan mulut hingga diridhai tuhan. Sebagaimana ada
dalam sebuah hadits:
السِّوَاكُ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ مَرْضَاةٌ
لِلرَّبِّ
“Siwak membersihkan
mulut dan meridhai tuhan”
Sebahagian ahli fikih, seperti fikih hanbali menyebutkan “menggunakan
kayu gaharu dari arak, zaitun dan lainnya, tidak akan menyebabkan kesusahan dan
kemudharatan”.
Rasullah menyifati siwak dengan sesuatu yang bisa mencapai maksud dan mudah
bagi bangsa Arab seperti menggunakan kayu Arak. Di negeri lain wasilah tersebut
bisa berubah, misalnya di Indonesia menggunakan jenis sikat gigi dan lainnya
karena hal tersebut mudah bagi bangsa Indonesia dan tidak menyebabkan
kemudharatan bagi pemakainya. Dalam hal ini maka di makruhkan pula menggunakan
wasail untuk bersiwak yang dapat menyebabkan kesusahan dan kemudharatan dengan
menggunakan benda-benda yang keras seperti: kayu delima, kemangi, tamarsik dll.
13. Kaidah
Ketigabelas:
يغتفر في
الوسائل ما لا يغتفر في المقاصد.
Pada wasā’il dimaafkan
sesuatu yang tidak dimaafkan pada maqāsid.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Wasa'il adalah suatu jalan atau sarana untuk
menuju kepada maqasid, sedangkan pengertian maqasid adalah sesuatu yang
mengandung mashlahah dan mafsadah karena dirinya sendiri.
2.
Syari’at membebaskan
manusia untuk memilih wasilah yang sesuai bagi diri mereka sendiri, Karena wasilah bisa berubah dan berbeda seiring perbedaan waktu, tempat,
tradisi, kondisi sosial, ekonomi, dan politik.
DAFTAR PUSTAKA
Jabbarsabil.blogspot.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar