Sabtu, 21 November 2015

tasfir surah Hud ayat 7


A.           Surat Huud Ayat 7 Dan Terjemahannya

وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلا وَلَئِنْ قُلْتَ إِنَّكُمْ مَبْعُوثُونَ مِنْ بَعْدِ الْمَوْتِ لَيَقُولَنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ هَذَا إِلا سِحْرٌ مُبِينٌ  )٧(
Artinya:
Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, dan singgasana    pemerintahan-Nya (sebelum itu) terletak di atas air untuk menguji kamu, mana diantara kamu yang lebih baik amalannya. Sungguh jika kamu bacakan kepada mereka: “ sesungguhya kamu akan dibangkitkan (dihidupkan kembali) sesudah mati”, tentulah semua orang kafir menjawab: “ ini tidak lain sebagai sihir yang nyata”. (Surat Huud: 7)

1.             Tafsir dan Penjelasan Surat Huud Ayat 7
وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ
“Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari (masa)”.
Hanya Allah yang telah menjadikan langit dan bumi dalam waktu enam hari (masa). Dua masa untuk menjadikan bumi, dua masa untuk menciptakan makanan-makanannya, dan dua masa lagi untuk menciptakan langit yang tujuh. Hal ini akan dijelaskan nanti dalam surah al-Fushshilat ayat 9-10. Yang dimaksud dengan “hari” dalam ayat ini adalah masa yang hanya Allah sendiri yang mengetahui batasnya. Tentu saja pengertian hari disini tidak sama dengan pengertian hari didunia.
Ulama falak telah menetapkan bahwa hari di planet lain diluar planet bumi berbeda dengan hari dibumi, terutama tentang jangka waktunya. Hari-hari Allah menjadikan alam ini berlangsung sejak masih merupakan kabut dalam waktu beribu-ribu tahun. Seperti yang dijelaskan di dalam surah al- hajj: 47: “sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitungan kamu”.[1]
Ada perbedaan pendapat ulama tentang makna kata ( sittati ayyam / enam hari)  telah dijelaskan ketika menafsirkan ayat 54 surat al-a’raf. Dikemukakan bahwa ada ulama yang memahaminya dalam arti enam kali 24 jam walaupun ketika itu matahari bahkan alam ini belum tercipta, dengan alasan ayat ini ditunjukkan kepada manusia dan menggunakan bahasa manusia, sedangkan manusia memahami kata sehari sama dengan 24 jam. Tetapi menurut ulama lain manusia mengenal beraneka perhitungan. Perhitungan berdasarkan kecepatan cahaya, suara, dan kecepatan detik-detik jam.[2]
Kataأَيَّام  (bentuk tunggalnya يَوْمٌ) di dalam Alquran disebut sebanyak 23 kali dan tidak pernah berdiri sendiri. Kata tersebut selalu berada di dalam rangkaian kata-kata lainnya yang mengacu pada pengertian yang bermacam-macam. Empat kali di antaranya dihubungkan dengan kata tsalâtsun (ثَلاَثٌ) sehingga membentuk kalimat tsalâtsatu ayyâm   (ثَلاَثَةُ أَيَّامٍ) yang berarti ‘tiga hari’. Rangkaian kata ini selanjutnya digunakan untuk menyebutkan bilangan hari shaum sebagai kafarat bagi orang yang melakukan pelanggaran (Al-Baqarah (2): 196.
Tujuh kali dihubungkan dengan kata sittatun (ستَّةٌ) sehingga membentuk frasa sittatu ayyâm (سِتَّةُ أَيَّامٍ), yang berarti “enam hari” seperti pada ayat-ayat di atas ditambah as-Sajadah (32): 4, dan al-Hadid (57): 4.
Selain itu, ada pula kata ayyâm (أَيَّام) yang didahului oleh kata arba‘ah (أَرْبَعَةٌ) sehingga susunan frasanya menjadi arba‘atu ayyâm (أَرْبَعَةُ أَيَّامٍ) yang artinya ‘empat hari’. Di dalam Alquran kata tersebut hanya disebut sekali dan digunakan untuk menyebutkan bilangan hari di dalam menentukan kadar makanan (Fushshilat [41]: 10).
Pada bagian lain, terdapat pula kata ayyâm (أَيَّام) yang didahului oleh kata tsamâniyah (ثَمَانِيَةٌ), sehingga susunan frasanya menjadi tsamâniyatu ayyâm (ثمَانِيَةُ أَيَّامٍ) yang berarti ‘delapan hari’. Kata ini hanya disebut sekali di dalam Alquran dan digunakan untuk menerangkan bilangan hari (lamanya angin topan yang menimpa kaum ‘Ad) (Al-Haqqah [69]: 7). Selain itu, masih terdapat kata ayyâm (أَيَّام) yang diberi sifat bermacam-macam.
Bentuk tunggal dari kata ayyâm (أَيَّام) adalah yaum (يَوْمٌ) yang berarti “hari”. Kata yaum (يَوْمٌ) di dalam Alquran disebut sebanyak 365 kali.[3] Kata ini kadang-kadang digunakan untuk menerangkan perjalanan waktu mulai dari terbit matahari sampai terbenamnya dan kadang-kadang digunakan untuk menunjukkan zaman, masa, atau periode.
Sama halnya dengan kata ayyâm (أَيَّام), kata yaum (يَوْمٌ) pun penggunaannya selalu dirangkaikan dengan kata lain di dalam Alquran. Misalnya, dirangkaikan dengan kata al-âkhir (اَلْآخِرُ) sehingga susunannya menjadi al-yaum ul-âkhir (اَلْيَوْمُ اْلآخِرُ), yang digunakan untuk menerangkan saat mana tidak ada hari lain setelah hari akhir tersebut. Ada pula kata yaum (يَوْمٌ) yang dirangkaikan dengan kata ad-dîn (الدِّيْنُ) sehingga menjadi yaum ad-dîn ( الدِّيْنِ  يَوْمُ), yang digunakan untuk menerangkan hari ketika segala amal perbuatan manusia sewaktu hidup di dunia diperhitungkan.
Intinya bahwa kata itu dalam Alquran menyatakan waktu yang beraneka ragam: masa yang abadi dan tidak terhingga panjangnya (Al-Fatihah [1]: 4), atau 50.000 tahun (Al-Ma`arij [70]: 4), atau 1000 tahun (As-Sajadah [32]: 5, al-Hajj [22]:4), atau satu zaman (Ali Imran [3]: 140), atau satu hari (Al-Baqarah [2]: 184), atau sekejap mata (Al-Qamar [54]: 50), atau masa yang lebih singkat dari sekejap mata (An-Nahl [16]: 77), atau masa yang tidak terhingga singkatnya (Ar-Rahman [55]: 29).
Pada kelima ayat di atas ukuran lamanya أَيَّام  (bentuk tunggalnya يَوْمٌ) tidak dirinci. Dalam konteks ini, semua ayat-ayat di atas dikategorikan sebagai bayan ijmali.
Selanjutnya kalimat fi sittati ayyam digunakan di dalam surat lain yang turun kemudian, yaitu surat as-Sajadah: 4 (urutan ke-75 makiyyah): “Allahlah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Tidak ada bagi kamu selain dari padanya seorang penolongpun dan tidak (pula) seorang pemberi syafa’at. Maka Apakah kamu tidak memperhatikan?”
Namun pada surat ini disertai dengan penjelasan ukuran “hari”, yaitu pada ayat selanjutnya (ayat 5): “Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu.”
Kata yaum (يَوْمٌ) pada ayat ini dihubungkan dengan kalimat kâna miqdâruhu alfa sanah (مِقْدَارُهُ أَلْفَ سَنَة  كَانَ = ukurannya seribu tahun). Kata ini digunakan untuk menerangkan ukuran hari yang digunakan oleh Allah di dalam mengatur urusan terkait dengan langit dan bumi yang disebutkan pada ayat sebelumnya. Maka ayat ini dapat dikategorikan sebagai bayan tafshili bagi semua ayat-ayat yang menyebut kata sittatu ayyam di atas.
Selain itu, penjelasan ukuran yaum kita dapatkan pula melalui surat dalam kelompok madaniyyah, yaitu surat al-Hajj [22]:47 (urutan ke-18 madaniyyah)
“Dan sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu, adalah seperti seribu tahun dari perhitungan kalian.”
Dengan ayat ini, Ibnu Abbas dan lain-lainnya meyakini bahwa penciptaan langit dan bumi dalam “enam hari” itu ialah hari dalam perhitungan di sisi Allah dan bukan hari dalam perhitungan kita. Yakni enam hari itu maknanya ialah enam ribu tahun. (Tafsir Ibnu Katsir tentang surat Al-Hajj 47).
Perbedaan pendapat di atas bukan berarti ada ayat-ayat al-qur’an yang saling bertentangan tetapi ini adalah isyarat tentang relatifitas waktu. Ada pelaku yang mampu menempuh jarak tertentu dalam waktu yang lebih cepat dari pelaku lain misalnya cahaya, memerlukan waktu lebih singkat dibandingkan dengan suara untuk mencapai suatu sasaran, demikian seterusnya. 
Penciptaan alam dalam enam hari mengisyaratkan tentang qudrah / kekuasaan /  kehendak dan ilmu serta hikmah Allah swt. Jika merujuk kepada qudrah-Nya, penciptaan alam tidak memerlukan waktu.  Seperti yang dijelaskan dalam surah yasin (82): “Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, ‘jadilah! ‘ maka terjadilah ia”. Di dalam surah lain yaitu surah al-qamar (50) : “ Dan perintah Kami hanyalah satu perkataan seperti kejapan mata” .
Sedangkan hikmah dan ilmu-Nya menghendaki agar alam tercipta dalam “enam hari” untuk menunjukkan bahwa ketergesa-gesaan bukanlah sesuatu yang terpuji tetapi yang terpuji adalah keindahan dan kebaikan karya, serta penyesuaiannya dengan hikmah dan kemaslahatan.
وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ
            Dan singgasana pemerintahan-Nya (sebelum itu) terletak di atas air”
Singgasana pemerintahan-Nya sebelum Allah menciptakan langit dan bumi adalah berada di atas air. Apakah yang dimaksud dengan “’Arsy Allah” adalah singgasana pemerintahan-Nya, tempat pengendalian alam, ataukah suatu makhluk ? hanya Allah yang mengetahuinya. Karena ‘Arsy itu alam ghaib, yang tidak dapat dicapai dengan pancaindra dan tidak dapat digambarkan dengan pikiran.[4]
Dari ayat ini dapat kita ketahui bahwa yang ada sebelum Tuhan menjadikan langit dan bumi, selain dari ‘Arsy-Nya, adalah air yang pokok bagi penciptaan semua yang hidup. Maka karenanya, kita  memaknai ‘Arsy di sini bukan dengan tahta kerajaan tempat bersemayamnya raja, tetapi penciptaan dan hukum. Adapun “air” yang ada sebelum Tuhan menjadikan langit dan bumi, itulah kabut yang tersebut dalam ayat 9-10 surah Fushshilat. Teori penciptaan alam yang dikemukakan oleh teori ilmu pengetahuan sesuai dengan teori al-Qur’an, sebagaimana firman Allah yang tersebut dalam surah al-Anbiyaa’.

لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلا
 “Untuk menguji kamu, mana di antara kamu yang lebih baik amalannya”.                       
Allah menjadikan langit dan bumi serta segala isinya untuk menguji kamu dan supaya jelas di antara kamu, siapa yang lebih baik amalannya. Allah juga menjadikan untuk kita semua isi bumi dan menundukkannya bagi kita. Selain itu, juga menjadikan kita mempunyai kemampuan untuk menggali segala manfaat yang terdapat di bumi, tetapi juga mempunyai potensi untuk merusaknya. Maka Allah akan memberi pembalasan yang baik kepada orang yang mensyukuri nikmat-Nya dan akan mengancam orang yang mengingkari nikmat-Nya.
                       
وَلَئِنْ قُلْتَ إِنَّكُمْ مَبْعُوثُونَ مِنْ بَعْدِ الْمَوْتِ لَيَقُولَنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ هَذَا إِلا سِحْرٌ مُبِينٌ
“Sungguh jika kamu bacakan kepada mereka: “ sesungguhya kamu akan dibangkitkan (dihidupkan kembali) sesudah mati”, tentulah semua orang kafir menjawab: “ ini tidak lain sebagai sihir yang nyata.””
Jika kamu mengatakan, hai Muhammad kepada orang-orang kafir itu: “sesungguhnya kamu akan dibangkitkan (dihidupkan lagi) sesudah mati untuk menerima pembalasan  dan ganjaran amalan”, tentulah mereka menjawab: “Apa yang kau datangkan untuk menundukkan kami ke bawah agamamu itu tidak lain hanyalah sihir yang nyata yang menyihir kami.”[5]
Menurut penjelasan Tafsir Jalalain, penciptaan alam semesta diawali pada hari ahad dan berakhir pada hari jum’at. Allah telah menciptakan bumi dalam dua hari yaitu hari Ahad dan hari Senin. Dan Dia telah menjadikan gunung-gunung yang kokoh dan kuat denga air yang banyak dan tanam-tanaman serta pohon-pohon yang banyak pula. Dan Allah telah enetapkan kadar-kadar makanan bagi manusia dan fauna. Sesungguhnya masa penciptaan selama empat hari adalah masa yang paling sempurna. Hal ini dijadikannya pada hari Selasa dan rabu.
Kemudian menuju pada penciptaan langit yang masih berupa asap yang membumbung tinggi. Allah menciptakan langit dalam dua hari yaitu hari Kamis dan Jum’at. Dan pada hari itu juga diciptakan Nabi Adam dan sesuai dengan makna ayat ini, yaitu ayat-ayat tentang penciptaan langit dan bumi dalam enam hari. Dan Dia perintahkan kepada penduduk yang ada di dalamnya, yaitu taat dan beribadah kepada-Nya. Kemudian dihiasilah langit bintang-bintang yang cemerlang. Dan Allah telah menjaganya dengan meteor-meteor dari setan-setan yang mau mencuri-curi pembicaraan para malaikat. Demikianlah ketentuan yang Maha Perkasa di dalam kerajaan-Nya.[6]



[1] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur jilid 3  (Semarang: pustaka rizki putra) 2000, hlm. 1873.
[2] M. Quraish Shihab, Al-Lubaab ( Makna, Tujuan dan Pelajaran Surah-Surah Al-Quran), (Tangerang: Lentera Hati)  2012, hlm. 557.
[3] Perpustakaan Nasional RI, Ensiklopedia Mukjizat Al-Quran dan Hadits, (Jakarta: PT. Sapta Sentosa, 2009), hlm. 42.
[4] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur jilid 3, (Semarang: pustaka rizki putra), 2000, hlm. 1874.
[5] Ibid., hlm. 1877.
[6] Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuti, Terjemahan Tafsir Jalalain Berikut Asbabun Nuzul Jilid 2, (Bandung: Sinar Baru Algensindo), 2008, hlm. 737-739

Tidak ada komentar:

Posting Komentar