A.
Surat Huud Ayat 7 Dan Terjemahannya
وَهُوَ
الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ وَكَانَ عَرْشُهُ
عَلَى الْمَاءِ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلا وَلَئِنْ قُلْتَ
إِنَّكُمْ مَبْعُوثُونَ مِنْ بَعْدِ الْمَوْتِ لَيَقُولَنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا
إِنْ هَذَا إِلا سِحْرٌ مُبِينٌ )٧(
Artinya:
Dan
Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, dan singgasana pemerintahan-Nya (sebelum itu) terletak di
atas air untuk menguji kamu, mana diantara kamu yang lebih baik amalannya.
Sungguh jika kamu bacakan kepada mereka: “ sesungguhya kamu akan dibangkitkan
(dihidupkan kembali) sesudah mati”, tentulah semua orang kafir menjawab: “ ini
tidak lain sebagai sihir yang nyata”. (Surat
Huud: 7)
1.
Tafsir dan Penjelasan Surat Huud Ayat 7
وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ فِي
سِتَّةِ أَيَّامٍ
“Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam
enam hari (masa)”.
Hanya
Allah yang telah menjadikan langit dan bumi dalam waktu enam hari (masa). Dua
masa untuk menjadikan bumi, dua masa untuk menciptakan makanan-makanannya, dan
dua masa lagi untuk menciptakan langit yang tujuh. Hal ini akan dijelaskan
nanti dalam surah al-Fushshilat ayat 9-10. Yang dimaksud dengan “hari” dalam
ayat ini adalah masa yang hanya Allah sendiri yang mengetahui batasnya. Tentu
saja pengertian hari disini tidak sama dengan pengertian hari didunia.
Ulama
falak telah menetapkan bahwa hari di planet lain diluar planet bumi berbeda
dengan hari dibumi, terutama tentang jangka waktunya. Hari-hari Allah
menjadikan alam ini berlangsung sejak masih merupakan kabut dalam waktu
beribu-ribu tahun. Seperti yang dijelaskan di dalam surah al- hajj: 47: “sesungguhnya
sehari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitungan kamu”.[1]
Ada
perbedaan pendapat ulama tentang makna kata ( sittati ayyam / enam hari)
telah dijelaskan
ketika menafsirkan ayat 54 surat al-a’raf. Dikemukakan bahwa ada ulama yang
memahaminya dalam arti enam kali 24 jam walaupun ketika itu matahari bahkan
alam ini belum tercipta, dengan alasan ayat ini ditunjukkan kepada manusia dan
menggunakan bahasa manusia, sedangkan manusia memahami kata sehari sama
dengan 24 jam. Tetapi menurut ulama lain manusia mengenal beraneka perhitungan.
Perhitungan berdasarkan kecepatan cahaya, suara, dan kecepatan detik-detik jam.[2]
Kataأَيَّام (bentuk tunggalnya يَوْمٌ) di dalam Alquran
disebut sebanyak 23 kali dan tidak pernah berdiri sendiri. Kata tersebut selalu
berada di dalam rangkaian kata-kata lainnya yang mengacu pada pengertian yang
bermacam-macam. Empat kali di antaranya dihubungkan dengan kata tsalâtsun
(ثَلاَثٌ)
sehingga membentuk kalimat tsalâtsatu ayyâm (ثَلاَثَةُ
أَيَّامٍ)
yang berarti ‘tiga hari’. Rangkaian kata ini selanjutnya digunakan untuk
menyebutkan bilangan hari shaum sebagai kafarat bagi orang yang melakukan
pelanggaran (Al-Baqarah (2): 196.
Tujuh kali dihubungkan dengan kata sittatun
(ستَّةٌ) sehingga membentuk
frasa sittatu ayyâm (سِتَّةُ أَيَّامٍ), yang berarti “enam hari” seperti
pada ayat-ayat di atas ditambah as-Sajadah (32): 4, dan al-Hadid (57): 4.
Selain itu,
ada pula kata ayyâm (أَيَّام)
yang didahului oleh kata arba‘ah (أَرْبَعَةٌ)
sehingga susunan frasanya menjadi arba‘atu ayyâm (أَرْبَعَةُ أَيَّامٍ) yang artinya ‘empat hari’. Di dalam
Alquran kata tersebut hanya disebut sekali dan digunakan untuk menyebutkan
bilangan hari di dalam menentukan kadar makanan (Fushshilat [41]: 10).
Pada bagian
lain, terdapat pula kata ayyâm (أَيَّام)
yang didahului oleh kata tsamâniyah (ثَمَانِيَةٌ),
sehingga susunan frasanya menjadi tsamâniyatu ayyâm (ثمَانِيَةُ أَيَّامٍ) yang berarti
‘delapan hari’. Kata ini hanya disebut sekali di dalam Alquran dan digunakan
untuk menerangkan bilangan hari (lamanya angin topan yang menimpa kaum ‘Ad)
(Al-Haqqah [69]: 7). Selain itu, masih terdapat kata ayyâm
(أَيَّام)
yang diberi sifat bermacam-macam.
Bentuk tunggal dari kata ayyâm
(أَيَّام) adalah yaum (يَوْمٌ) yang berarti
“hari”. Kata yaum (يَوْمٌ) di dalam Alquran disebut sebanyak 365
kali.[3]
Kata ini kadang-kadang digunakan untuk menerangkan perjalanan waktu mulai dari
terbit matahari sampai terbenamnya dan kadang-kadang digunakan untuk
menunjukkan zaman, masa, atau periode.
Sama halnya dengan kata ayyâm
(أَيَّام),
kata yaum (يَوْمٌ) pun penggunaannya selalu dirangkaikan
dengan kata lain di dalam Alquran. Misalnya, dirangkaikan dengan kata al-âkhir
(اَلْآخِرُ) sehingga susunannya menjadi al-yaum
ul-âkhir (اَلْيَوْمُ اْلآخِرُ), yang digunakan
untuk menerangkan saat mana tidak ada hari lain setelah hari akhir tersebut.
Ada pula kata yaum (يَوْمٌ) yang dirangkaikan dengan kata ad-dîn
(الدِّيْنُ) sehingga menjadi yaum ad-dîn ( الدِّيْنِ يَوْمُ), yang digunakan
untuk menerangkan hari ketika segala amal perbuatan manusia sewaktu hidup di
dunia diperhitungkan.
Intinya bahwa kata itu dalam Alquran
menyatakan waktu yang beraneka ragam: masa yang abadi dan tidak terhingga
panjangnya (Al-Fatihah [1]: 4), atau 50.000 tahun (Al-Ma`arij [70]: 4), atau
1000 tahun (As-Sajadah [32]: 5, al-Hajj [22]:4), atau satu zaman (Ali Imran
[3]: 140), atau satu hari (Al-Baqarah [2]: 184), atau sekejap mata (Al-Qamar
[54]: 50), atau masa yang lebih singkat dari sekejap mata (An-Nahl [16]: 77),
atau masa yang tidak terhingga singkatnya (Ar-Rahman [55]: 29).
Pada kelima ayat di atas ukuran
lamanya أَيَّام (bentuk tunggalnya يَوْمٌ) tidak dirinci.
Dalam konteks ini, semua ayat-ayat di atas dikategorikan sebagai bayan ijmali.
Selanjutnya kalimat fi sittati
ayyam digunakan di dalam surat lain yang turun kemudian, yaitu surat
as-Sajadah: 4 (urutan ke-75 makiyyah): “Allahlah yang menciptakan langit
dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia
bersemayam di atas ‘Arsy. Tidak ada bagi kamu selain dari
padanya seorang penolongpun dan tidak (pula) seorang pemberi syafa’at. Maka
Apakah kamu tidak memperhatikan?”
Namun pada surat ini disertai dengan
penjelasan ukuran “hari”, yaitu pada ayat selanjutnya (ayat 5):
“Dia
mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya
dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu.”
Kata yaum (يَوْمٌ) pada ayat ini
dihubungkan dengan kalimat kâna miqdâruhu alfa sanah (مِقْدَارُهُ
أَلْفَ سَنَة
كَانَ = ukurannya seribu
tahun). Kata ini
digunakan untuk menerangkan ukuran hari yang digunakan oleh Allah di dalam
mengatur urusan terkait dengan langit dan bumi yang disebutkan pada ayat
sebelumnya. Maka ayat ini dapat dikategorikan sebagai bayan tafshili
bagi semua ayat-ayat yang menyebut kata sittatu ayyam di atas.
Selain itu,
penjelasan ukuran yaum kita dapatkan pula melalui surat dalam kelompok
madaniyyah, yaitu surat al-Hajj [22]:47 (urutan ke-18 madaniyyah)
“Dan
sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu, adalah seperti seribu tahun dari
perhitungan kalian.”
Dengan ayat
ini, Ibnu Abbas dan lain-lainnya meyakini bahwa penciptaan langit dan bumi
dalam “enam hari” itu ialah hari dalam perhitungan di sisi Allah dan bukan hari
dalam perhitungan kita. Yakni enam hari itu maknanya ialah enam ribu tahun.
(Tafsir Ibnu Katsir tentang surat Al-Hajj 47).
Perbedaan
pendapat di atas bukan berarti ada ayat-ayat al-qur’an yang saling bertentangan
tetapi ini adalah isyarat tentang relatifitas waktu. Ada pelaku yang mampu
menempuh jarak tertentu dalam waktu yang lebih cepat dari pelaku lain misalnya
cahaya, memerlukan waktu lebih singkat dibandingkan dengan suara untuk mencapai
suatu sasaran, demikian seterusnya.
Penciptaan
alam dalam enam hari mengisyaratkan tentang qudrah / kekuasaan / kehendak dan ilmu serta hikmah
Allah swt. Jika merujuk kepada qudrah-Nya, penciptaan alam tidak
memerlukan waktu. Seperti yang
dijelaskan dalam surah yasin (82): “Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia
menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, ‘jadilah! ‘ maka terjadilah
ia”. Di dalam surah lain yaitu surah al-qamar (50) : “ Dan perintah Kami
hanyalah satu perkataan seperti kejapan mata” .
Sedangkan
hikmah dan ilmu-Nya menghendaki agar alam tercipta dalam “enam hari” untuk
menunjukkan bahwa ketergesa-gesaan bukanlah sesuatu yang terpuji tetapi yang
terpuji adalah keindahan dan kebaikan karya, serta penyesuaiannya dengan hikmah
dan kemaslahatan.
وَكَانَ عَرْشُهُ
عَلَى الْمَاءِ
“Dan
singgasana pemerintahan-Nya (sebelum itu) terletak di atas air”
Singgasana
pemerintahan-Nya sebelum Allah menciptakan langit dan bumi adalah berada di
atas air. Apakah yang dimaksud dengan “’Arsy Allah” adalah singgasana
pemerintahan-Nya, tempat pengendalian alam, ataukah suatu makhluk ? hanya Allah
yang mengetahuinya. Karena ‘Arsy itu alam ghaib, yang tidak dapat
dicapai dengan pancaindra dan tidak dapat digambarkan dengan pikiran.[4]
Dari ayat ini
dapat kita ketahui bahwa yang ada sebelum Tuhan menjadikan langit dan bumi,
selain dari ‘Arsy-Nya, adalah air yang pokok bagi penciptaan semua yang
hidup. Maka karenanya, kita memaknai ‘Arsy
di sini bukan dengan tahta kerajaan tempat bersemayamnya raja, tetapi
penciptaan dan hukum. Adapun “air” yang ada sebelum Tuhan menjadikan langit dan
bumi, itulah kabut yang tersebut dalam ayat 9-10 surah Fushshilat. Teori
penciptaan alam yang dikemukakan oleh teori ilmu pengetahuan sesuai dengan
teori al-Qur’an, sebagaimana firman Allah yang tersebut dalam surah
al-Anbiyaa’.
لِيَبْلُوَكُمْ
أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلا
“Untuk menguji kamu, mana di antara kamu yang
lebih baik amalannya”.
Allah menjadikan
langit dan bumi serta segala isinya untuk menguji kamu dan supaya jelas di
antara kamu, siapa yang lebih baik amalannya. Allah juga menjadikan untuk kita
semua isi bumi dan menundukkannya bagi kita. Selain itu, juga menjadikan kita
mempunyai kemampuan untuk menggali segala manfaat yang terdapat di bumi, tetapi
juga mempunyai potensi untuk merusaknya. Maka Allah akan memberi pembalasan
yang baik kepada orang yang mensyukuri nikmat-Nya dan akan mengancam orang yang
mengingkari nikmat-Nya.
وَلَئِنْ
قُلْتَ إِنَّكُمْ مَبْعُوثُونَ مِنْ بَعْدِ الْمَوْتِ لَيَقُولَنَّ الَّذِينَ
كَفَرُوا إِنْ هَذَا إِلا سِحْرٌ مُبِينٌ
“Sungguh jika kamu bacakan kepada mereka: “
sesungguhya kamu akan dibangkitkan (dihidupkan kembali) sesudah mati”, tentulah
semua orang kafir menjawab: “ ini tidak lain sebagai sihir yang nyata.””
Jika
kamu mengatakan, hai Muhammad kepada orang-orang kafir itu: “sesungguhnya kamu
akan dibangkitkan (dihidupkan lagi) sesudah mati untuk menerima pembalasan dan ganjaran amalan”, tentulah mereka
menjawab: “Apa yang kau datangkan untuk menundukkan kami ke bawah agamamu itu
tidak lain hanyalah sihir yang nyata yang menyihir kami.”[5]
Menurut penjelasan Tafsir Jalalain, penciptaan alam
semesta diawali pada hari ahad dan berakhir pada hari jum’at. Allah telah
menciptakan bumi dalam dua hari yaitu hari Ahad dan hari Senin. Dan Dia telah
menjadikan gunung-gunung yang kokoh dan kuat denga air yang banyak dan
tanam-tanaman serta pohon-pohon yang banyak pula. Dan Allah telah enetapkan
kadar-kadar makanan bagi manusia dan fauna. Sesungguhnya masa penciptaan selama
empat hari adalah masa yang paling sempurna. Hal ini dijadikannya pada hari
Selasa dan rabu.
Kemudian menuju pada penciptaan langit yang masih
berupa asap yang membumbung tinggi. Allah menciptakan langit dalam dua hari
yaitu hari Kamis dan Jum’at. Dan pada hari itu juga diciptakan Nabi Adam dan sesuai
dengan makna ayat ini, yaitu ayat-ayat tentang penciptaan langit dan bumi dalam
enam hari. Dan Dia perintahkan kepada penduduk yang ada di dalamnya, yaitu taat
dan beribadah kepada-Nya. Kemudian dihiasilah langit bintang-bintang yang
cemerlang. Dan Allah telah menjaganya dengan meteor-meteor dari setan-setan
yang mau mencuri-curi pembicaraan para malaikat. Demikianlah ketentuan yang
Maha Perkasa di dalam kerajaan-Nya.[6]
[1] Teungku Muhammad Hasbi
ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur jilid 3 (Semarang: pustaka rizki putra) 2000, hlm. 1873.
[2] M.
Quraish Shihab, Al-Lubaab ( Makna, Tujuan dan Pelajaran Surah-Surah
Al-Quran), (Tangerang: Lentera Hati)
2012,
hlm. 557.
[3] Perpustakaan
Nasional RI, Ensiklopedia Mukjizat Al-Quran dan Hadits, (Jakarta: PT. Sapta
Sentosa, 2009), hlm. 42.
[4] Teungku Muhammad Hasbi
ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur jilid 3, (Semarang: pustaka rizki
putra), 2000,
hlm. 1874.
[5] Ibid., hlm. 1877.
[6] Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam
Jalaluddin As-Suyuti, Terjemahan Tafsir Jalalain Berikut Asbabun Nuzul
Jilid 2, (Bandung: Sinar Baru Algensindo), 2008, hlm. 737-739
Tidak ada komentar:
Posting Komentar